Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah
suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai
transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak
seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak
pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit
ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa
memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun
tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya
mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem
keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Metode
Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui 3 (tiga) langkah tahapan:
langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan
tindak pidana/kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak
menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan[1] [2]
dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement); langkah kedua adalah
melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan
tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai
rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang
dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap pelapisan/layering);
langkah ketiga (final) merupakan tahapan dimana pelaku memasukkan
kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta Kekayaan yang
telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam
berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali
kegiatan tindak pidana (tahap integrasi).[3] [4]
[sunting] Hukum Pencucian Uang di Indonesia
Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam
tiga tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun
2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga
sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang
menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada
setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini
pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat,
yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan
denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e.
penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang
perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j.
kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata
gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r.
penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang
perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di
bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam
dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan
dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
[sunting] Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK
(Inggris:Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis
Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010
adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang
mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang
serta mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
2. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan
yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal
sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit
intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan
Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari
''The Egmont Group'' yakni suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia
dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang bersih dari tindak
pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar
terbaik internasional.
[sunting] Sejarah Ringkas UU PP-TPPU
Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks,
melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin
variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial
Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar
internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40
Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF,
antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang
mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang
kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional
melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana
yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar
dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang
positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia
jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas
dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum
dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana
dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan
belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada
ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda,
adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum
dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses
informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang
jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar
internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
antara lain:
1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap
pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar
daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
sumber : wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar